HUBUNGAN
ILMU PENGETAHUAN DAN AL QUR'AN
Menurut kamus webster’s
new world dictionary, kata science berawal dari kata Latin, scire,
yang artinya mengetahui. Secara bahasa, science berarti “keadaan atau fakta mengetahui atau sering
diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan
intuisi atau kepercayaan”. Namun kata ini kemudian mengalami perkembangan dan
perubahan pemaknaan sehingga berarti
“pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi , kajian dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip
yang dikaji. Dengan demikian telah
terjadi pergeseran makna sains dari “pengetahuan “ menjadi “pengetahuan yang
sistematis berdasarkan observasi indriawi”. Tren ini kemudian mengarah pada
pembatasan lingkup sains hanya pada dunia fisik. Hal ini dapat terlihat dari
definisi lain yang kemudian diberikan oleh kamus tersebut pada sains sebagai
“pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik”.
Sebagai pengetahuan
yang sistematis, sains barangkali tidak begitu unik karena semua ilmu, seperti
teologi dan metafisika, memang harus sistematis atau organized. Karakter sain
baru muncul ketika pengetahuan yang sistematis tersebut harus muncul dari
observasi , yang dimaksud dengan observasi disini bisaanya adalah observasi
indriawi, apakah seadanya melalui alat indra telanjang tanpa bantuan alat, atau
dengan alat, seperti mikroskop atau teleskop. Dengan mensyaratkan observasi,
sains harus bersifat empiris. Tidak peduli apakah ia berhubungan dengan
benda-benda fisik, kimia, biologi astronomi, bahkan bidang-bidang psikologi dan
sosiologi. Semuanya harus bersifat empiris, yakni bisa dialami atau diamati
secara indrawi. Eksperimen-eksperimen bisa dilakukan baik terhadap benda-benda
mati (inorganic), seperti atom atau molekul maupun makhluk hidup, seperti
hewan-hewan (tikus, monyet, dan lain-lain), sejauh eksperimen tersebut dapat
diobservasi secara indriawi. Dalam psikologis, eksperimen juga dapat dilakukan
terhadap manusia (biasanya system saraf atau otak). Asal eksperimen tersebut
bersifat empiris sehingga bisa diukur. Agar bersifat empiris dan dapat terukur,
objek-objek ilmu haruslah bersifat fisik (dalam definisi di atas disebut alam
dan dunia fisik), atau dalam istilah August Comte, positif sehingga sains akan
bersifat positivistic. Inilah karakter sains yang paling mendasar, terbukti mempunyai dampak mendalam terhadap
pandangan keagamaan seseorang dan telah menyeret beberapa tokoh utamanya,
seperti Laplace, Darwin, Freud, dan Durkheim ke dalam ateisme.
Meskipun demikian,
masih ada satu hal lagi yang sangat penting berkaitan dengan karakteristik
sains, yaitu masalah matematika. Jika objek sains harus bersifat fisik atau
positivistic, bagaimanakah kedudukan matematika? Apakah matematika termasuk
sains? Apakah materi-subjek matematika empiris? Tampaknya tidak ada keraguan
bahwa matematika adalah sains sehingga muncullah istilah mathematical science
dan tidak ada keraguan bahwa matematika-terutama pada tingkat dasarnya-selalu
berkaitan dengan, atau diabstraksikan dari benda-benda fisik walaupun pada
dirinya ia tidak lagi bersifat fisik. Namun, justru di sinilah letak
persoalannya, jika materi-subjek matematika pada dirinya bukan fisik, bagaimanakah
matematika bisa dipandang sebagai sains, tidak sekadar alat atau “instrument”
sains. Ternyata, jawabannya tidak begitu jelas. Menurut Paul Davies dalam
bukunya, The Mind of God, para
matematikawan terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang menyatakan bahwa
objek-objek matematika mempunyai status ontologis yang jelas seperti kaum
Platonis, tetapi yang lain menolak status tersebut. Yang jelas, matematika
memang bisa disebut atau diklarifikasikan ke dalam ilmu-ilmu pasti (exact science). Sifat kepastian inilah,
dan bukan status ontologism objeknya, yang barangkali menjadi “pembenaran” atau
“justifikasi” dimasukkannya matematika ke dalam kategori “sains”. [1]
Masalah ilmu pengetahuan dan Al
Qur'an adalah diskusi yang menarik dan kontroversial antara pemikir dan studi
agama Islam. Sebagian pemikir berusaha untuk menyebarkan isu ini dan beberapa
dari mereka menolaknya . Sejarah dan pandangan ilmiah memiliki efek utama pada
penerimaan atau penolakan. Menurut Barbaur
hubungan sains dan agama terdiri dari empat kategori
yang meliputi (a) kontradiksi dan konflik, (b) independen, (c) interaksi atau dialog dan (d) kesatuan dan
integrasi. Pengelompokan ini sangat penting
apabila seseorang sarjana ingin membuktikan atau memperluas idenya. Sementara seorang penulis dengan
pandangan positif menganggap satu kesatuan tentang
hubungan agama dan ilmu pengetahuan, namun di sisi
lain, ada suatu sudut
pandang negatif telah menilai kontradiksi atau kebebasan agama dan ilmu pengetahuan. Terlihat, mereka yang menulis buku, artikel tentang
hubungan agama dan ilmu pengetahuan harus mengikuti atas
klasifikasi tentang hubungan ilmu pengetahuan dan Al Qur'an. Dalam hal ini, penulis yang menggunakan klasifikasi ini harus menerima kebenaran
hubungan ini untuk menjelaskan idenya. Misalnya, buku yang berjudul Konsep Geografis Gunung dalam Al Qur'an disebutkan bahwa
"Al-Qur'an konsisten menggambarkan gunung sebagai stabilisator untuk
permukaan bumi dan sebagai pasak untuk menahan
permukaan bumi (yaitu litosfer bumi). Dengan ini,
penulis menerima kebenaran ilmu pengetahuan dan interaksi Al Qur'an, karena
disebut diberbagai ensiklopedi geologi dan
sumber daya untuk tujuan membuktikan pernyataannya". Menurut Monkhouse, dalam kamus
lingkungan alam, istilah gunung didefinisikan sebagai suatu bentuk lahan
yang tinggi, dibatasi oleh lereng curam dan naik ke punggung
menonjol. Na'ik juga menyatakan tentang fakta-fakta ilmiah Qur'an dengan jelas
membuktikan sifat ketuhanan dan Alquran
berisi petunjuk hidup yang
lengkap bagi individu dan masyarakat. Jadi, jelas bahwa Na'ik
setuju pada prinsip kesatuan dan integrasi. Di
sisi lain, ada sudut pandang yang berbeda yaitu Nekoonam
yang merupakan sarjana Studi Alquran mengungkapkan pandangan negatifnya tentang hubungan ilmu pengetahuan dan Al Qur'an. Dia percaya bahwa tidak ada kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama serta keberadaan hal-hal
ilmiah di dalam Al- Qur'an atau dengan kata lain hubungan ilmiah dengan Al-Qur'an
adalah nol. Dia
menganggap bahasa Al-Qur'an sebagai bahasa umum berdasarkan konteks sejarah; bangsa Arab pada awal Islam tidak terbiasa/familiar dengan
hal-hal ilmiah seperti astrologi, kosmologi, biologi, dan lain-lain. Abduh juga menyangkal/menolak adanya interaksi/hubungan antara
ilmu pengetahuan dan Al Qur'an dan ia menyatakan bahwa jalan untuk mencapai
ilmu pengetahuan dan penemuan akan dapat dicapai melalui intelek/kepandaian dan
pengalaman/percobaan daripada lewat tradisi dan ilmu agama.[2]
Sebagai contoh, kata
lautan (al bahar) disebutkan 32 kali sedangkan kata daratan (al bar)
disebutkan 13 kali. Jika di jumlahkan perkataan yang berkaitan tentang “lautan”
dan daratan” adalah 45 perkataan. Seperti perhitungan berikut: Lautan :
32/45 X 100% = 71.11111111% Daratan : 13/45 X 100% = 28.88888888%. Kini telah diketahui peratusan bagi “Lautan” dan
“Daratan” di dalam dunia ini sebagaimana yang di sebutkan di dalam kitab suci Al Quran. Padahal awalnya dikatakan bahwa rasio lautan 75/25,
dimana lautan melingkupi 75% permuakaan bumi. Namun setelah
pengembangan satelit citra sekarang
diketahui bahwa aturan ini tidak tepat/ akurat. Ini merupakan suatu keajaiban
ilmiah yang luar biasa 1.400 tahun yang lalu dimana Al-Qur'an merupakan wahyu
dari Allah, Pencipta dunia, dan bahwa Muhammad (SAW) adalah utusan Allah
sejati.[3]
Contoh
diatas merupakan salah satu bukti kebesaran Allah mengenai penciptaanNya yang
sudah dituangkan dalam Al quran dengan ukuran dan kadar yang serasi. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara ilmu pengetahuan dengan Al
Quran. Dalam Alquran semua persoalan sudah dijelaskan, tinggal saja kepandaian
ataupun intelektual seseorang untuk mempelajari Alquran dalam menjawab berbagai
persoalan.
Kartanegara,
Mulyadhi, Sains dan Matematika dalam Islam, Jakarta: Ushul Press, 2009.
Mahmood, Sultan Bashir, The Miraculous Quran a
Challenge to Science & Mathematics, Islamabad: Dar-ul-Hikmat
International, 2010.
Zulkifli, Mohd
Yakub dan Ghar, Majid Danes, Islam and
the Relation of Science and the Quran, International conference of humanities, society
and culture IPEDR. Vol. 20, Singapore: IACSIT, 2011.
[1] Mulyadhi Kartanegara, Sains
dan Matematika dalam Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2009), hlm. 2-4.
[2] Mohd Yakub
Zulkifli dan Majid Danes Ghar, Islam and the Relation of Science and the Quran,
International conference of humanities, society and culture IPEDR. Vol.20
(Singapore:IACSIT, 2011 ),
hlm. 54.
[3] Sultan Bashir Mahmood, The
Miraculous Quran a Challenge to Science & Mathematics , (Islamabad: Dar-ul-Hikmat
International, 2010), hlm.83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar